Senin, 07 Maret 2011

KESESAKAN ( CROWDING)


Jika kita lihat perkembangan kota Jakarta sudah sangat pesat, tidak hanya dari segi fasilitas namun dari segi penduduk kota Jakarta memiliki tingkat penduduk yang paling tinggi, Jakarta adalah salah satu kota dengan kepadatan oenduduk paling tinggi saat ini dikarenakan banyaknya penduduk yang imigrasi dari desa ke kota. Kepadatan yang terjadi di kota Jakarta sering kita temui pada lingkungan sekitar, misalnya apabila kita ingihnn menaiki trans Jakarta, bayak sekali orang yang  berbondong-bodong ingin menaiki angkutan umum tersebut, hingga terkadang kita harus berdesak-desakan untuk antri.
Namun tidak hanya berhenti disitu kepadatan penduduk yang semakin meningkat terkadang membuat kita merasa sesak jika berada di dalam sebuah tempat yang banyak dikunjungi oleh masyarakat seperti pusat perbelanjaan dan tempat lainya. Terkadang berada di tempat ramai membuat kita tidak nyaman, kepadatan yang terjadi membuat kita seperti merasa kesesakan.
Disini saya akan membahas lebih jauh mengenai kesesakan itu sendiri. Menurut beberapa ahli kesesakan adalah,

• Menurut Altman (1975), kesesakan adalah suatu prosesinterpersonal pada suatu tingkatan interaksi manusia satu dengan lainnya dalam suatu pasangan atau kelompok kecil. Perbedaaan pengertian antara crowding (kesesakan) dengan density (kepadatan) kadang-kadang keduanya memiliki pengertian yang sama dalam merefleksikan pemikiran secara fisik dari sejumlah manusia dalam suatu kesatuan ruang.

• Menurut Altman (1975), Heimstra dan McFarling (1978) antara kepadatan dan kesesakan memiliki hubungan yang erat kerena kepadatan merupakan salah satu syarat yang dapat menimbulkan kesesakan, tetapi bukan satu-satunya syarat yang dapat menimbulkan kesesakan. Kepadatan yang tinggi dapat mengakibatkan kesesakan pada individu (Heimstra dan McFarling, 1987; Holahan, 1982).

• Menurut Baum dan Paulus (1987) menerangkan bahwa proses kepadatan dapat dirasakan sebagai kesesakan atau tidak dapat ditentukan oleh penilaian individu berdasarkan empat faktor :

  1. Karakteristik seting fisik.
  2. Karakteristik seting sosial.
  3. Karakteristik personal.
  4. Kemampuan beradaptasi.
• Menurut Stokols (dalam Altman, 1975) membedakan antara kesesakan bukan sosial (nonsocial crowding) yaitu dimana faktor-faktor fisik menghasilkan perasaan terhadap ruang yang tidak sebanding, seperti sebuah ruang yang sempit, dan kesesakan sosial (social crowding) yaitu perasaan sesak mula-mula datang dari kehadiran orang lain yang terlalu banyak. Stokols juga menambahkan perbedaan antara kesesakan molekuler dan molar. Kesesakan molar (molar crowding) yaitu perasaan sesak yang dapat dihubungkan dengan skala luas, populasi penduduk kota, sedangkan kesesakan molekuler (moleculer crowding) yaitu perasaan sesak yang menganalisis mengenai individu, kelompok kecil dan kejadian-kejadian interpersonal.

• Menurut Morris, (dalam Iskandar, 1990) memberi pengertian kesesakan sebagai defisit suatu ruangan. Hal ini berarti bahwa dengan adanya sejumlah orang dalam suatu hunian rumah, maka ukuran per meter persegi setiap orangnya menjadi kecil, sehingga dirasakan adanya kekurangan ruang. Besar kecilnya ukuran rumah menentukan besarnya rasio antara penghuni dan tempat (space) yang tersedia. Makin besar rumah dan makin sedikitnya penghuninya, maka akan semakin besar rasio tersebut. Sebaliknya, makin kecil rumah dan makin banyak penghuninya, maka akan semakin kecil rasio tersebut, sehinggaakan tinbul perasaan sesak (crowding) (Ancok, 1989).

I.Teori Kesesakan
Untuk menerangkan terjadinya kesesakan dapat digunakan tiga model teori, yaitu : Beban Stimulus, Kendala Perilaku, dan Teori Ekologi (Bell dkk, 1978; Holahan, 1982).
  1. Model Beban Stimulus, yaitu : kesesakan akan terjadi pada individu yang dikenai terlalu banyak stimulus, sehingga individu tersebut tak mampu lagi memprosesnya.
  2. Model Kendala Prilaku, yaitu : menerangkan kesesakan terjadi karena adanya kepadatan sedemikian rupa, sehingga individu merasa terhambat untuk melakukan sesuatu. Hambatan ini mengakibatkan individu tidak dapat mencapai tujuan yang diinginkannya. Terhadap kondisi tersebut, individu akan melakukan psychological reactance, yaitu suatu bentuk perlawanan terhadap kondisi yang mengancam kebebasan untuk memiliih.
  3. Model Teori Ekologi, yaitu : membahas kesesakan dari sudut proses s
1. Teori Beban Stimulus
Pendapat teori ini mendasarkan diri pada pandangan bahwa kesesakan akan terbentuk bila stimulus yang diterima individu melebihi kapasitas kognitifnya sehingga timbul kegagalan memproses stimulus atau informasi dari lingkungan. Schmidt dan Keating (1979) mengatakan bahwa stimulus disini dapat berasal dari kehadiran banyak orang beserta aspek-aspek interaksinya, maupun kondisi-kondisi fisik dari lingkungan sekitar yang menyebabkan bertambahnya kepadatan sosial. Berlebihnya informasi dapat terjadi karena beberapa faktor, seperti:
(a) Kondisi lingkungan fisik yang tidak menyenangkan.
(b) Jarak antar individu (dalam arti fisik) yang terlalu dekat.
(c) Suatu percakapan yang tidak dikehendaki.
(d) Terlalu banyak mitra interaksi.
(e) Interaksi yang terjadi dirasa lalu dalam atau terlalu lama.

2. Teori Ekologi
Menurut Micklin (dalm Holahan, 1982) mengemukakan sifat-sifat umum model ekologi pada manusia. Pertama, teori ekologi perilaku memfokuskan pada hubungan timbal balik antara orang dengan lingkungannya. Kedua, unit analisisnya adalah kelompok sosial dan bukan individu, dan organisasi sosial memegang peranan sangat penting. Ketiga, menekankan pada distribusi dan penggunaan sumber-sumber material dan sosial.
Wicker (1976) mengemukakan teorinya tentang manning. Teori ini berdiri atas pandangan bahwa kesesakan tidak dapat dipisahkan dari faktor seting dimana dimana hal itu terjadi, misalnya pertunjukan kethoprak atau pesta ulang tahun.

Analisi terhadap seting meliputi :
  1. Maintenance minim, yaitu jumlah minimum manusia yang mendukung suatu seting agar suatu aktivitas dapat berlangsung. Agar pembicaraan menjadi lebih jelas, akan digunakan kasus pada sebuah rumah sebagai contoh suatu seting. Dalam hal ini, yang dinamakan maintenance setting adalah jumlah penghuni penghuni rumah minimum agar suatu ruang tidur ukuran 4 x 3 m bisa dipakai oleh anak-anak supaya tidak terlalu sesak dan tidak terlalu longgar.
  2. Capacity, adalah jumlah maksimum penghuni yang dapat ditampung oleh seting tersebut (jumlah orang maksimum yang dapat duduk di ruang tamu bila sedang dilaksanakan hajatan)
  3. Applicant, adalah jumlah penghuni yang mengambil bagian dalam suatu seting. Applicant dalam seting rumah dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
  • Performer, yaitu jumlah orang yang memegang peran utama, dalam hal ini suami dan isteri.
  • Non-performer, yaitu jumlah orang yang terlibat dalam peran-peran sekunder, dalam hal ini anak-anak atau orang lain dalam keluarga.
Besarnya maintenance minim antara performer dan non-performer tidak terlalu sama. Dalam seting tertentu, jumlah performer lebih sedikit daripada jumlah non-performer, dalam seting lain mungkin sebaliknya.

3. Teori Kendala Perilaku
Menurut teori ini, suatu situasi akan dianggap sesak apabila kepadatan atau kondisi lain yang berhubungan dengannya membatasi aktivitas individu dalam suatu tempat.
Menurut Altman kondisi kesesakan yang ekstrim akan timbul bila faktor-faktor dibawah ini muncul secara simultan:
1. Kondisi-kondisi pencetus, terdiri dari tiga faktor :
(a) Faktor-faktor situsional, seperti kepadatan ruang yang tinggi dalam jangka waktu yang lama, dengan sumber-sumber pilihan perilaku yang terbatas.
(b) Faktor-faktor personal, seperti kurangnya kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain dalam situasi yang padat dan rendahnya keinginan berinteraksi dengan orang lain yang didasarkan pada latar belakang pribadi, suasana hati, dan sebagainya.
(c) Kondisi interpersonal, sepwerti gangguan sosial, ketidak mampuan memperoleh sumber-sumber kebutuhan, dan gangguan lainnya.

2. Serangkaian faktor-faktor organismik dan psikologis seperti stress, kekacauan pikiran, dan persaan kurang enak badan.
3. Respon-respon pengatasan, yang meliputi beberapa perilaku verbal dan non verbal yang tidak efektif dalam mengurangi stress atau dalam mencapai interaksi yang diinginkan dalam jangka waktu yang panjang atau lama.

II.Faktor-Faktor yang Mempengaharui Kesesakan
Terdapat tiga faktor yang mempengarui kesesakan yaitu : personal, sosial, dan fisik.

1. Faktor Personal
Terdiri dari kontrol pribadi dan locus of control; budaya, pengalaman, dan proses adaptasi; serta jenis kelamin dan usia.
2. Faktor Sosial
Menurut Gifford (1987) secara personal individu dapat mengalami lebih banyak lebih sedikit mengalami kesesakan cenderung dipengaharui oleh karakteristik yang sudah dimiliki, tetapi di lain pihak pengaruh orang lain dalam lingkungan dapat juga memperburuk kedaan akibat kesesakan. Faktor-faktor sosial yang berpengaruh tersebut adalah :
(a) Kehadiran dan perilaku orang lain.
(b) Formasi koalisi.
(c) Kualitas hubungan.
(d) Informasi yang tersedia.

3. Faktor Fisik
Altman (1975), Bell dkk (1978), Gove dah Hughes(1983) mengemukakan adanya faktor situasional sekitar rumah sebagai faktor yang juga mempengaharui kesesakkan. Stessor yang menyertai faktor situasional tersebut seperti suara gaduh, panas, polusi, sifat lingkungan, tipe suasana, dan karakteristik seting. Faktor situasional tersebut antara lain :
a.      Besarnya skala lingkungan
Dalam suatu seting ada tanda-tanda fisik dan psikologis. Tanda-tanda fisik adalah kawasan industry, taman, jalan-jalan, dan lain-lain. Adapun tanda-tanda psikologis sseperti sikap terhadap kaum urban, privasi, dan perbandingan dengan kota-kota lain. Perasaan sesak yang terjadi pada skala kecil (tempat tinggal) sebaiknya diprediksikan dengan factor-faktor fisik dan psikologis, tetapi bila terjadi pada skala yang lebih besar akan lebih baik bila diprediksikan hanya dengan factor psikologis.
Kesimpulan tersebut diambil dari hasil penelitian mengenai pengukuran pengaruh fisik dan psikologis terhadap kesesakan. Kesesakan dipengaruhi oleh skala geografis yang digunakan untuk melihat situasi itu dan perbedaan factor-faktor pada masing-masing skala yang menyebabkan individu menyimpulkan bahwa dirinya merasa sesak.
b.      Variasi arsitektural.
Dari penelitian yang telah dilakukan oleh Baum dan Valins (1977) ditemukan bahwa desain koridor yang panjang akan menimbulkan perilaku kompetitif, penarikan diri, rendahnya perilaku kooperatif, dan rendahnya kemampuan untuk mengontrol interaksi.
McCartey dan Saegert (dalam Gifford, 1987) menemukan bahwa bila dibandingkan dengan bangunan horizontal, kehidupan di bangunan vertical dapat menyebabkan perasaan sesak yang lebih besar dan menimbulkan sikap-sikap negative seperti kurangnya kemampuan untuk mengontrol, rendahnya rasa aman, merasa kesulitan dalam mencapai privasi, rendahnya kepuasan terhadap bangunan yang ada, dan hu bungan yang tidak erat diantara sesame penghuni.
Dari beberapa penelitian disimpulkan bahwa ada beberapa hal yang bias diasosiasikan dengan perasaan sesak yang rendah, yaiu plafon yang tinggi sehingga menimbulkan kesan luas dan menambah sirkulasi udara. Ruang yang berbentuk persegi panjang lebih baik karena tidak menimbulkan kesan kaku bila dibandingkan dengan ruang yang bujur sangkar. Perlunya jendela dan pintu yang memadai yang dapat berfungsi untuk mengalihkan kejenuhan.
Kesesakan yang dialami oleh individu juga dapat mempengaruhi perilakunya,contoh sebgai berikut :
1.      Aktivitas seseorang akan terganggu oleh aktivitas orang lain
2.      Interaksi interpersonal yang tidak diinginkan akan mengganggu individu dalam mencapai tujuan personalnya
3.      Gangguan terhadap norma tempat dapat meningkatkan gejolak dan ketidaknyamanan (Epstein, 1982) serta disorganisasi keluarga, agresi, penarikan diri secara psikologi (psychological withdrawal)
4.      Menurunnya kualitas hidup (Freedman, 1973).
5.      Penurunan – penurunan psikologis, fisiologis, dan hubungan sosial individu. Pengaruh psikologis yang ditimbulkan oleh kesesakan antara lain adalah perasaan kurang nyaman, stres, kecemasan, suasana hati yang kurang baik, prestasi kerja dan prestasi belajar menurun, agresivitas meningkat, dan bahkan juga gangguan mental yang serius.
6.      Malfungsi fisiologis seperti meningkatnya tekanan darah dan detak jantung, gejala – gejala psikosomatik, dan penyakit – penyakit fisik yang serius (Worchel dan Cooper, 1983).
7.      Kenakalan remaja, menurunnya sikap gotong-royong dan saling membantu, penarikan diri dari lingkungan sosial, berkembangnya sikap acuh tak acuh, dan semakin berkurangnya intensitas hubungan sosial (Holahan, 1982)
8.      Fisher dan Byrne (dalam Watson dkk., 1984) menemukan bahwa kesesakan dapat mengakibatkan menurunnya kemampuan menyelesaikan tugas yang kompleks, menurunkan perilaku sosial, ketidaknyamanan dan berpengaruh negatif terhadap kesehatan dan menaikkan gejolak fisik seperti naiknya tekanan darah (Evans, 1979).
Namun dari sekian banyak akibat negatif kesesakan pada perilaku manusia, Brigham (1991) mencoba menerangkan dan menjelaskannya menjadi :

(1) pelanggaran terhadap ruang pribadi dan atribusi seseorang yang menekan perasaan yang disebabkan oleh kehadiran orang lain;
(2) keterbatasan perilaku, pelanggaran privasi dan terganggunya kebebasan memilih;
(3) kontrol pribadi yang kurang
(4) stimulus yang berlebihan.
Freedman (1975) memandang kesesakan sebagai suatu keadaan yang dapat bersifat positif maupun negatif tergantung dari situasinya. Jadi kesesakan dapat dirasakan sebagai suatu pengalaman yang kadang-kadang menyenangkan dan kadang-kadang tidak menyenangkan.
Walaupun pada umumnya kesesakan berakibat negatif pada perilaku seseorang, tetapi menurut Altman (1975) dan Watson dkk. (1984), kesesakan kadang memberikan kepuasan dari kesenangan. Hal ini tergantung pada tingkat privasi yang diinginkan, waktu dan situasi tertentu, serta setting kejadian.
Situasi yang memberikan kepuasan dan kesenangan bisa kita temukan, misalnya pada waktu melihat pertunjukan musik, pertandingan olahraga atau menghadiri reuni atau resepsi.

sumber : elearning.gunadarma.ac.id/.../bab4-kepadatan_dan_kesesakan.pdf
Seri Diktat Kuliah.Arsitektur, Psikologi dan Masyarakat. Hendro Prabowo. Penerbit Gunadarma.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar